Reaksi refresif dan Preventif

 ASSALAMU’ALAIKUM. WR. WB

            Reaksi refresif adalah suatu rekasi yang diberikan atas adanya peristiwa kejahatan. Artinya, atas kejahatan yang terjadi, masyarakat melalui lembaga penegakan hukum akan memberikan reaksi negatif berupa tindakan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan. Lembaga penegakan hukum sebagai suatu lembaga yang diberi mandat oleh masyarakat, dalam bereaksi terhadap kejahatan tidak terlepas dari keberadaannya sebagai suartu sistem, yakni sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana terdiri dari berbagai unsur penegak hukum yakni, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Polisi sebagai (ujung tombak) sistem peradilan pidana adalah unsur yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Dengan demikian, polisi merupakan lembaga penegak hukum yang pertama bergerak memberikan reaksi (represif) apabila terjadi peristiwa kejahatan di masuyarakat.

 

            Dalam pasal 2 UU pokok kepolisian (UU No. 13 tahun 1961) ditegaskan bahwa polisi Republik Indonesia (POLRI) mempunyai kewajiban represif, yakni kewajiban untuk melakukan usaha dan pekerjaan serta kegiatan dalam penyelenggaraan tugas kehakiman guna memberantas perbuatan-perbuatan dapat dihukum dan dilakukan dengan penyelidikan, penangkapan, penahanan terhadap yang bersalah, memeriksa, menggeledah, melakukan penyitaan, serta menyerahkan atau melimpahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

 

            Berdasarkan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981) ditetapkan bahwa POLRI adalah penyidik tunggal. Artinya, tidak ada aparatur lain kecuali POLRI yang dibebani tugas kewajiban melakukan pemerikasaan pendahuluan, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang yang dikeluarkan pemerintah.

 

            Secara resmi lembaga yang bertanggungjawab atas usaha pencegahan kejahatan adalah polisi. Namun karena terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polisi telah mengakibatkan tidak efektifnya tugas tersebut. Lebih jauh, polisi juga tidak mungkin akan mencapai tahap ideal pemenuhan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan kejahatan menjadi hal yang sangat diharapkan oleh polisi.

 

Beberapa hal yang dianggap sangat berperan bagi terwujudnya peran serta warga masyarakat, antara lain:

1. pola pemikiran tentang strategi pencegahan kejahatan, pengertian, serta konsep penerapannya,

2. peranan pemerintah dan masyarakat dalam upaya pencegahan kejahatan, serta

3. strategi pendekatan ke arah terwujudnya partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengurangan kejahatan serta penyimpangan sosial lainnya.

 

Strategi Pencegahan Kejahatan

 

            Graham, (1990) kemudian menganjurkan pembagian strategi pencegahan yang utama ke dalam tiga kelompok berdasarkan pada model pencegahan keaktifan umum, yang meliputi (a) pencegahan primer, (b) pencegahan sekunder, (c) pencegahan tertier.

 

            Pencegahan primer ditetapkan sebagai strategi pencegahan kejahatan melalui bidang sosial, ekonomi dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum, khususnya sebagai usaha untuk mempengaruhi situasi-situasi kriminogenik dan sebab-sebab yang mendasar dari kejahatan. Tujuan utama dari pencegahan primer ini adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memberikan harapan bagi keberhasilan sosialisasi bagi setiap anggota masyarakat. Sebagai contoh, bidang yang relevan dengan usaha pencegahan primer (intervensi atau campur tangan sebelum terjadinya pelanggaran) meliputi pendidikan, perumahan, ketenaga-kerjaan, waktu luang, dan rekreasi. 

 

            Pence            gahan sekunder biasanya ditemui dalam kebijakan peradilan pidana dan pelaksanaannya. Pencegahan sekunder dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus yang meliputi identifikasi dini dari kondisi-kondisi kriminogenik dan upaya-upaya yang mempengaruhi kondisi tersebut. Peran preventif dari polisi diletakkan dalam pencegahan sekunder, begitu pula pengawasan dari mass media, perencanaan perkotaan, serta desain dan konstruksi bangunan. Asuransi pribadi terhadap pembongkaran, pencurian, dan sebagainya juga diletakkan dalam katagori pencegahan sekunder.

 

            Pencegahan tertier sangat memberikan perhatian pada pencegahan terhadap residivisme melalui peran polisi dan agen-agen lain dalam sistem peradilan pidana. Segala tindakan dari pencegahan tertier ini dengan demikian berkisar dari sanksi-sanksi peradilan informal dan kondisi bayar utang bagi korban atau juga sebagai perbaikan pelanggar serta hukuman penjara. Oleh karena batasan-batasan dari sanksi yang dalam periode terakhir ini berorientasi pada pembinaan, maka pencegahan tertier juga sering kali mengurangi tindakan-tindakan yang represif.

 

            Beberapa ahli memutuskan untuk membagi pencegahan kejahatan ke dalam tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan sosial, (2) pendekatan situasional, (3) pendekatan kemasyarakatan.

 

            Pencegahan kejahatan melalui pendekatan sosial biasa disebut sebagai (Social Crime Prevention), segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran. Yang menjadi sasarannya adalah populasi umum (masyarakat) ataupun kelompok-kelompok yang secara khusus mempunyai resiko tinggi untuk melakukan pelanggaran.

 

            Pencegahan kejahatan melalui pendekatan situasional biasanya disebut sebagai Situational Crime Prevention, perhatian utamanya adalah mengurangi kesempatan individu atau kelompok untuk melakukan pelanggaran.

 

            Pencegahan kejahatan melalui pendekatan kemasyarakatan sering disebut sebagai Community based Crime Prevention, biasanya semua langkah atau tindakan yang diambil ditujukan untuk memperbaiki kapasitas masyarakat dalam mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas mereka untuk menggunakan kontrol sosial informal.

 

            Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat), dilihat dari segi pencapaian tujuannya, dapat dibagi menjadi dua, yakni reaksi yang bersifat (refresif) dan reaksi yang bersifat (preventif). Karena berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari mode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya. Secara singkat, pengertian reaksi atau tindak refresif adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.

            Sementara itu yang dimaksud dengan reaksi atau tindak (preventif) adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamatan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini.

 

            Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.

 

SUMBER BUKU MATERI POKOK

SOSI4302/3SKS/MODUL1-4

TEORI KRIMINOLOGI

SEKIAN TERIMA KASIH J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sistem Politik

Modernisasi

Sumber Hukum